Keindahan Hukum di Zaman Umar

Izinkan mericau tentang sebuah kisah keagungan dan keindahan hukum. Agar tetap terjaga harap dan sangka baik untuk negeri ini. Umat sedang duduk beralas surban di bebayang pohon kurma dekat Masjid Nabawi. Sahabat di sekelilingnya bersyura' bahas aneka soal. Tiga orang pemuda datang menghadap, dua bersaudara berwajah marah yang mengapit pemuda lusuh yang tertunduk dalam belengguan mereka.

"Tegakkan keadilan untuk kami, hai Amirul Mukminin," ujar seorang. "Qishashlah pembunuh ayah kami sebagai had atas kejahatannya!"

Umar bangkit. "Bertakwalah kepada Allah," serunya pada semua. "Benarkah engkau membunuh ayah mereka wahai anak muda?" selidiknya.

Pemuda itu menunduk sesal. "Benat wahai Amirul Mukminin!" jawabnya ksatria. "Ceritaknlah pada kami kejadiannya!" tukas Umar.

"Aku datang dari pedalaman yang jauh, kaumku memercayakan berbagai urusan muamalah untuk kuselesaikan di kota ini," ungkapnya. "Saat sampai," lanjutnya, "kutambatkan untaku di satu tunggul kurma lalu kutinggalkan ia. Begitu kembali, aku terkejut dan terpana. Tampak olehku seorang lelaki tua sedang menyembelih untaku di lahan kebunnya yang tampak rusak terinjak tanamannya. Sungguh aku sangat marah dan dengan murka kucabut pedang hingga terbunuhlah si bapak itu. Dialah rupanya ayah kedua saudaraku ini."

"Wahai Amirul Mukminin," ujar seorang penggugat, "kau telah mendengar pengakuannya dan kami bisa hadirkan banyal saksi untuk itu."

"Tegakkanlah had Allah atasnya!" timpal yang lain. Umar galau dan bimbang setelah mendengar lebih jauh kisah pemuda terdakwa itu. "Sesungguhnya yang kalian tuntut ini pemuda shalih lagi baik budinya," ujar Umar, "dia membunuh ayah kalian karena lhilad kemarahan sesaat."

"Izinkan aku," ujar Umar, "meminta kalian berdua untuk memaafkannya dan akulah yang akan membayarkan diyat atas kematian ayahmu."

"Maaf Amirul Mukminin," sergah kedua pemuda dengan mata masih menyala merah, sedih dan marah,"kami sangat menyayangi ayah kami. Bahkan harta sepenuh bumi dikumpulkan untuk kami, hati kami hanya ridha jika jiwa dibalas dengan jiwa!"

Umar yang tumbuh simpati pada terdakwa yang dinilai amanah, jujur dan bertanggung jawab tetap kehabisan akal yakinkan penggugat.

"Wahai Amirul Mukminin," ujar pemuda tergugat dengan anggun dan gagah, "tegakan hukum Allah, aku ridha pada ketentuan Allah," lanjutnya, "hanya saja izinkan aku menunaikan semua amanah dan kewajiban yang tertanggung ini."

"Urusan muamalah kaumku, berilah aku 3 hari untuk selesaikan semua. Aku berjanji dengan nama Allah yang menetapkan qishash dalam AlQuran, aku akan kembali 3 hari dari sekarang untuk menyerahkan jiwaku."
"Mana bisa begitu!" teriak penggugat. "Nak," ujar Umar, "tak punyakah kau kerabat dan kenalan yang bisa dilimpahi urusan ini?"

"Sayangnya tidak Amirul Mukminin. Bagaimana pendapatmu jika kematianku masih menanggung utang dan amanah lain?"

"Baik," sahut Umar, "kau memberi tangguh 3 hari tapi harus ada seseorang yang menjaminmu bahwa kau menepati janji untuk kembali."

"Aku tidak memiliki seorang kerabat di sini. Hanya Allah yang jadi penjaminku wahai orang-orang yang beriman kepada-Nya," rajuknya.

"Harus ada orang yang menjaminnya!" ujar penggugat, "andai pemuda ini ingkar janji, siapa yang akan gantikan tempat untuk diqishash?"


"Jadikan aku penjaminnya, hai Amirul Mukminin!" sebuah suara berat dan berwibawa menyerual dari arah hadirin. Itu Salman Al-Farisi.

"Salman?" hardik Umar, "demi Allah engkau belum mengenalnya! Jangan main-main dengan urusan ini! Cabut kesediaanmu!"

"Pengenalanku kepadanya, tak beda dengan pengenalanmu ya Umar," ujar Salman, "aku percaya kepadanya sebagaimana engkau memercayainya."

Dengan berat hati, Umar melepas pemuda itu dan menerima penjaminan yang dilakukan oleh Salman baginya. Tiga hari berlalu. Detik-detik menjelang eksekusi begitu menegangkan. Pemuda itu belum muncul. Umar gelisah mondar mandir. Penggugat mendecak kecewa. Semua hadirin sangat mengkhawatirkan Salman. Sahabat peranatau negeri, pengembara iman itu mulia dan tercinta di hati Rasul dan sahabatnya.
Mentari nyaria terbenam. Salman dengan tenang dan tawakal melangkah siap ke tempat qishash. Isak pilu tertahan. Tetapi sesosok bayang berlari terengah dalam temaram, terseok dan nyaris merangkak. "Itu dia!" pekik Umar.

Pemuda itu dengan tubuh berkuah peluh dan nafas putus-putus ambruk di pangkuan Umar. "Maafkan aku," ujarnya, "hampir terlambat. Urusan kaumku memakan banyak waktu. Kupacu tungganganku tanpa henti hingga sekarat dan terpaksa kutinggal lalu aku berlari."

"Demi Allah," ujar Umar sambil menenangkan dan meminumi,"bukankah engkau bisa lari dari hukuman ini? Mengapa susah payah kembali?"

"Supaya jangan sampai ada yang mengatakan," ujar terdakwa dalam senyum, "di kalangan Muslimin tak ada lagi ksatria tepat janji."

"Lalu kau, hai Salman," ujar Umar berkaca-kaca, "mengapa mau jadi penjamin seseorang yang tak kaukenal sama sekali!"

"Agar jangan sampai dikatakan," jawab Salman teguh, "di kalangan Muslimin tak ada lagi saling percaya dan menanggung beban saudara."

"Allahu Akbar!" pekik dua pemuda penggugat sambil memeluk terdakwanya, "Allah dan kaum Muslimin jadi saksi bahwa kami memaafkannya."

"Kalian memaafkannya?" Umar makin haru, "jadi dia tidak diqishash? Allahu Akbar! Mengapa?"

"Agar jangan ada yang merasa," sahut keduanya masih terisak, "di kalangan kaum Muslimin tak ada lagi kemaafan dan kasih sayang."

Demikian Shalihin Shalihat, kisah kasus hukum di zaman Umar. Semoga ada hikmah yang bisa terteladani.


Referensi: Menyimak Kicau Merajut Makna, halaman 189-193
April Fatmasari
Assalamualaikum. Saya seorang ibu rumah tangga yang belajar menjadi blogger, penulis dan Canva designer. Memiliki ketertarikan dengan kepenulisan, pengasuhan, literasi anak, terutama read aloud. Belajar berbagi memaknai kehidupan dengan tulisan. Jika ingin menjalin kerja sama, dapat dihubungi melalui april.safa@gmail.com

Related Posts

Posting Komentar