Terkadang, pembicaraan antara orang tua
dan anak akan berakhir menjadi ajang adu argumentasi. Di satu sisi, orang tua
melontarkan petuah dan aturan. Sedangkan anak, mengotot dengan pendapatnya dan
ingin membantah karena mempunyai pemikiran sendiri. Contohnya begini.
Menurut Irawati Istadi, seorang
praktisi homeschooling, salah satu seni berbicara dengan anak
adalah mau memahami dan mengerti pendapatnya, membesarkan hatinya, kemudian
mengingatkan akibat-akibat buruk yang terjadi. Terakhir, memberi motivasi anak
dengan hal lain yang sekiranya lebih menarik perhatiannya.
“Kak Raffi, makan dulu ya,” kata Ibu sambil menyiapkan makan malam.
“Apa lauknya? Ayam lagi? Bosen ... aku mau
lainnya,” rengek Raffi.
“Jangan pilih-pilih makanan. Ibu sudah
capek kerja, nggak sempat masak lainnya,” sahut Ibu.
“Nggak mau makan,” rengek Raffi sekali
lagi.
“Ya kalau nggak mau makan, kelaparan,
nanti sakit. Mau? Sudah makan sini,” kata Ibu menutup pembicaraan dengan
jengkel.
Lalu kira-kira apa yang terjadi setelah
itu? Bisa saja, berakhir baik, jika sang anak
menurut dan memendam rasa kesalnya. Tapi emosinya bisa menjadi bom waktu. Atau mungkin, akan berlanjut adegan
selanjutnya, saling menampakan kekuatan otot suara dengan maksimal.
Percakapan di atas akan berbeda jika ibu
menghargai pendapat Raffi, misalnya berkata, “Iya. Tapi lauk di rumah adanya
ini karena Ibu belum sempat belanja lagi. Dimakan dulu, ini rezeki yang
ada. Di luar sana banyak yang pingin ayam tapi nggak bisa makan karena nggak
punya uang. Kalau gitu, hari minggu temenin Ibu belanja lauk ya. Dan sekarang,
makan ayam dulu.”
Itu contoh jawaban bijak yang saya dengar
langsung dari salah seorang rekan kerja ketika anaknya bosan makan bekal dengan
lauk itu-itu saja di kantor. Akhirnya meskipun anak sedikit kecewa tapi dia
memakannya dengan inisiatif sendiri.
Lalu bagaimana supaya bisa memasuki dunia
pemikiran anak?
Masih menurut Irawati Istadi dalam bukunya
Mendidik dengan Cinta dan tambahan dari saya.
Orang tua berusaha memahami kondisi emosi
diri sendiri. Jika sudah mengenali emosi sendiri, maka akan dapat memahami
pikiran anak dan memberi respon kata-kata yang tepat. Memang tidak semudah menuliskan
seperti ini, terlebih bagi seorang ibu yang memiliki sumber pancaran emosi berpengaruh.
Kemudian, memahami fase tumbuh kembang
anak sesuai usia dan pengaruh lingkungan. Misal, anak usia tiga tahun
mengatakan ingin sekolah. Apakah berarti ibu langsung mendaftarkan ke sekolah?
Atau dipikirnya, anak asal ucap saja? Tentu perlu menggali lebih dalam tentang
pendapat anak supaya orang tua paham kemauannya. Karena bisa saja perkataan itu
diulang berkali-kali hingga mungkin memancing emosi ibu.
Selanjutnya, mencoba bisa berempati saat
anak mempunyai masalah. Bagaimana caranya? Orang tua mencoba berada di posisi
anak. Misal, ketika anak kehilangan barang kesayangannya. Seorang ibu atau ayah
harus mencoba membayangkan berada di kondisi kebingungan itu supaya jawaban
atas pertanyaan kecemasan anak bisa tepat sesuai kejiwaannya.
Terakhir, orang tua dapat bergabung dengan
komunitas yang membahas parenting untuk semakin membuka
wawasan, baik online maupun offline.
Komunikasi menjadi kunci penting untuk
bisa menjelajahi dunia pemikiran anak, Namun komunikasi juga tidak akan
berjalan baik tanpa ada kedekatan. Dan untuk mendapatkan kedekatan diperlukan
kuantitas kebersamaan yang berkualitas agar semakin mudah memahami jalan
pemikiran anak.
#30dwc #30dwcjilid12 #day28 #squad4 #keluarga
Posting Komentar
Posting Komentar